Find us on facebook

Selasa, 17 November 2015

Serongkeng

Sepeti biasa, aku menunggu jemputan ayah di depan monumen pahlawan yang ada diruas jalan pusat kotaku. Setiap hari ayah selalu menjemputku sepulang dari kuliah. Selepas turun dari bus kota, aku menunggu ayah diruas jalan itu. Ayah khawatir denganku jika aku pulang dengan melanjutkan lagi naik kendaraan umum menjelang magrib tiba karena  jarak tempuh kerumahku yang cukup jauh. Aku merasa aman ketika menunggu ayah diruas jalan ini, meski yang kutahu beberapa pedagang kaki lima yang meggelar dagangannya ketika menjelang magrib ini sering memberitahuku jika banyak sekali pencopet berkeliaran menjelang magrib seperti ini. 

Sejak dari pertama aku  menunggu ayah diruas jalan ini, ada yang menarik perhatianku. Seorang pedagang roti bakar yang selalu selesai memamerkan jualan di ‘etalase’ nya dengan lampu penerangan yang sangat indah tepat ketika azan magrib  yang mengalun dari menara masjid agung yang berada di seberang jalan raya menyapa.

“Nak, kamu masih menunggu ayahmu datangkan?”. Tanyanya  yang berarti ia memintaku menjaga dagangannya sementara dan bergantian setelahnya untukku solat magrib.

“Yoi pak..titip doa ya pak” . Jawabku akrab. Kebetulan hari ini aku sedang tidak solat, kebiasaan seorang wanita setiap bulannya.

Ialah pak Saleh, yang selalu tak mau ketinggalan sholat berjamaah di masjid. Selalu memulai menggelar ‘etalase’ roti bakar lapis tiga rasanya itu satu jam sebelum azan magrib berkumandang. Pertama kali melihat pak Saleh, aku jatuh cinta kepada lampu Serongkeng yang  digunakan untuk penerangan dagangannya. Kuperhatikan kelincahan tangannya ketika melakukan langkah demi langkah dalam mengoperasikan lampu Serongkeng, dan aku merasa takjub ketika lampu itu telah menyala.  Seminggu pertama aku terus memperhatikan pak Saleh, ada rasa yang sangat untuk berinteraksi dalam percakapan dengan beliau. Namun aku bingung untuk memulainya. 

Kuperhatikan lamat-lamat kegiatan pak Saleh ketika menyalakan lampu serongkeng, dari menyiapkan minyak tanah, spritus, kaos bola lampu dan yang paling menakjubkan adalah ketika lampu itu akhirnya menjadi bola lamppu yang indah berpijar setelah terbakar beberapa saat ketika dipompa. Dan pada saat itupun aku kembali kemasa kanakku, tentang aku, ayah dan lampu serongkeng.

***

Masa kecil kulalui di sebuah rumah kayu kecil yang bercagak tiang diatas air rawa yang mengalir air sungai. Saat itu lingkungan rumahku masih dikepung oleh hutan, sungai dan rawa-rawa. Tiada aliran listrik, hanya berpijarkan lampu teplok yang setiap pagi menjelang membekaskan noda hitam dilubang hidungku.

“ibu, hidung putri hitam” manjaku seranya mendekati ibu.

“mana, coba ibu lihat”. Jawab ibu sambil melihat lubang hidung mungilku dan tersenyum.

“masih tetep cantik kok, anak ibu”. Lanjut ibu smbil mencubit lembut hidungku.

Akupun berpindah haluan kearah ayah yang sedang membaca al-quran, ayah suka memulai pagi harinya dengan menyenandungkan al-quran. Dengan manja khas anak kecil, aku mendekati ayah dan duduk menggelayuti ayah.

“ayah, lampunya diganti dong seperti lampu yang ada dirumah wak haji, terang dan ada topi bundar yang melingkar terus digantungkan di atas langit-langit rumah”. Celotehku panjang. “putri mau punya lampu itu?”. Ayah menatapku dan tersenyum dan akupun mengangguk.

“permohonan putri terkabulkan, karena kemarin ayah dapet hadiah lampu yang putri sebutkan itu dari wak haji”. Jawab ayah. Diam-diam ayah suka memperhatikanku yang selalu melihat ‘aksi’ wak haji ketika menyalakan lampu itu. Dan wak hajipun berbaik hati memberikan satu lampu itu kepada ayah, tepatnya untukku.

“wak, lampunya indah sekali. Putri mau punya lampu seperti itu”. Celotehku seraya terkesima dengan cahaya lampu itu. Wak Hajipun tersenyum, ia pun sangat tahu akan ketertarikanku.

“nanti jika wak punya lampunya dua, satunya wak berikan untuk putri, biar putri semakin cantik dibawah cahaya terang lampu  ini”. Jawab wak Haji sambil mencubit pelan hidungku.

“benarkah,wak?”. Tanyaku antusias.

“in syaa allaah, gadis solehah. Tapi putri sudah tahu belum nama lampu indah ini?”. Tanya Wak Haji padaku, dan akupun hanya menggeleng.

“namanya lampu Serongkeng atau nama bekennya adalah lampu Petromaks”. Lanjut wak Haji.

“oh... lampu serongkeng, yaa Wak..”. jawabku senang dan membayangkan lampu itu sudah dirumah dan dihidupkan oleh ayah.

***

Kuperhatikan benda ajaib dihadapanku ini, lampu  yang bisa dideskripsikan dengan  tabung tempat minyak tanah yang warnanya mengkilap. Di tabung itu ada alat pemompa manualnya, berwarna merah.  Ada juga alat pendeteksi tekanan gasnya. Di atas tabung itu ada tempat dimana api dinyalakan dengan spiritus, cairan yang mudah terbakar dan menguap. Baru di atasnya dipasang kaos lampu yang terbuat dari semacam kain. Di sekelilingnya ada tabung kaca. Di atasnya penutup dan ada semacam alat pembatas agar arah sinar mengembang ke bawah--aku mnyebutnya topinya lampu serongkeng. lampu ini membutuhkan kaos lampu, bentuknya seperti balon. Kaos lampu itu mengembang jika serongkeng dinyalakan, dengan cara memompanya—sangat manual--butuh keahlian supaya mengembangnya sempurna. Kaos lampu yang mengembang itu akhirnya membentuk seperti rumah tawon yang berpijar. Kaos lampu itu sangat rapuh, jika disenggol dia akan pecah.

Benda itu sekarang sedang dioperasikan oleh ayah, kaos lampunyapun baru dibeli oleh ayah, mataku tak berkedip ketika ayah menyalakannya. Bagian yang sangat aku sukai adalah ketika ayah memompa lampu agar terbakar dan mengeluarkan bunyi desisan, lalu terciptalah lampu yang berpendar indah. Tak lupa ayah memakaikan ‘topi’ diatas kepala serongkeng, lalu menggantungkannya di ats langit-langit rumah.

“wah, rumah kita jadi terang benderang ya, ayah..putri jadi semangat belajar”. Kataku pada ayah.

“iya,, sayang. Dan bidadari ayah ibupun semakin terang benderang”. Canda ayah seraya mencubit lembut hidungku.

Dan kami bertigapun tergelak dalam tawa yang riang di bawah pendaran cahaya lampu serongkeng.

***

Lamunku semasa kank pun pecah seketika pak Saleh kembali dan memanggil namaku.

“Nak, ayahmu belum datang?”. Tanya pak Saleh sambil memperhatikan dagangannya.

“mungkin sebentar lagi pak”. Jawabku sambil melirik jam di Handphone.

 “ah... itu ayah pak”. Kulihat ayah datang dan semakin mendekat. Motor ayahpun berhenti di depan ‘etalase’ dagangan pak Saleh.

“sayang, maaf ayah sedikit lama. Jalan cukup macet” jawab ayah seraya memberikan helm kepadaku. Kuraih helm dari tangan ayah dan kupakai di atas kepalaku.

 “pak Saleh, kami pulang dulu yah... terimakasih telah menemani Putri”. Ucap ayah berpamitan dengan pak Saleh.

“pak, Putri pulang dulu ya, besok kita in syaa allaah bertemu lagi”. Ucapku yang sudah berada diatas motor ayah.

“okey, nak Putri dan ayah Putri. Hati-hati dijalan ya”. Balas pak Saleh ramah. Pak Saleh memanggil ayahku dengan nama ‘ayah Putri’, biar lebih akrab.

Motor ayah pun melaju membawaku menuju masjid, menyebrangi arus lalu lintas jalan raya yang padat dan temaram. Aku selalu mengingat kisah indh itu bersama lampu serongkeng, kenangan terindah bersama ayah.

***

Penulis bernama; Syarifah Reza Ayu Nurimani, berusia 25 tahun, e-mail address; ayuminouri22@gmail.com. telephone number; 0819 2920 7357, 0853 1530 4934

6 komentar:

Serongkeng ya...
Kenangan masa kecil

Maa syaa Allaah.. tulisan sya di post disini.. makasih ya admin.. :)

Terimakasih bang.. maaf baru dibals..

��������❤❤❤❤❤❤

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More