Aku masih di sini bersama segelas kopi yang tinggal
separuh. Meski usiaku masih belia, kopi hitam tanpa gula adalah favoritku. Bisa jadi karena itu satu-satunya minuman mewah di rumah ini, yang lebih tepat disebut gubug. Sebab dindingnya hanya dari papan dan anyaman bambu yang telah menua dihantam hujan dan terik matahri bergantian. Aku masih di sini, menatap langit yang kian kelam. Satu persatu
kerlip bintang meninggalkannya.
Dingin terus merambat, lalu menyusup melalui
pori-pori kulitku. Menusuk hingga tulang belulangku. Namun, ragaku masih enggan
untuk beranjak dari bangku panjang ini. Aku berharap ia akan kembali pada dini
hari nanti, seperti sebelumnya. Berkali-kali
wanita dengan dua mata jelita itu menyuruhku masuk ke dalam rumah. Berkali-kali
pula aku menjawab dengan kata yang sama “Sebentar lagi bu!”. Entah sudah berapa
malam aku melewati tanpanya. Aku marah. Aku kehilangan. Aku rindu. Namun bisa apa,
aku terlalu lemah atau terlalu lelah?
Aku tak tahu. Mungkin lebih tepatnya tak mau tahu. Bukan tanpa alasan. Bagiku
semua yang dilakukan selalu punya alasan.
***
Terik matahari yang begitu menyengat, memacu adrenalinku
untuk bergegas. Keringat terus mengalir di sela pori˗pori kulitku. Perut kosongku
terus berteriak meminta haknya. Tapi bagaimana akan memenuhi haknya, sedang
untuk sekolah saja aku harus pasang muka tembok. Tak kuhiraukan lagi mata sinis
kepala TU saat memanggilku menagih bayaran sekolah. Ku tebalkan telingaku atas
gosip murahan yang mungkin benar atas lelaki itu. Bayangan˗bayangan episode
hidupku akhir˗akhir ini terus berkelebat menebas inginku untuk kembali kerumah.
Ku lambatkan lagi langkah kaki, ku urungkan niat untuk segera sampai di
istana reot milik orang tuaku. Kebingungan ini kian merambat layaknya aliran
listrik. Kemarahan ini terus menggoda, mengajakku untuk berlari
meninggalkannya. Namun, sepertinya itu mustahil. Bagaimana mungkin aku
meninggalkan dua mata jelita di istana reot itu. Tak tega rasanya, jika aku
ikut membuat dua mata jelita itu terluka. Ku turuti saja kemana langkah kaki
hendak berjalan. Pikiranku kacau, hatiku semrawut.
Lelah sudah raga ini sebenarnya,
menuruti kaki yang sejak tadi masih saja berjalan. Seakan mencari jawaban pada
sederet aspal jalanan yang mulai berlubang. Hingga kemudian aku memutuskan
untuk sejenak melepas segala beban rasa ini. Ku belokkan kakiku menuju rumah
bercat hijau, mungkin masih ada kedamaian disana.
Aku melepas sepatu lusuh, melempar tubuhku di lantai beranda rumah ini. Sejuk, tidak seperti rumahku.
Meski setiap saat bisa menikamati udara bebas, tapi beda rasanya. Aku berniat
melepaskan segala kelebat perih, membuangnya sejenak. Aku tidak akan lari,
sebab itu bukan pribadi lelaki.
“Ah…percaya diri sekali aku ini, bagaimana disebut lelaki jika aku
terus saja membiarkan wanita terhebatku terus menderita?” batinku. Rasa kantuk
yang tadi sempat menyapa, sirna seketika.
“Aku harus pulang!” demikian keputusan yang akhirnya kupilih. Kali
ini langkahku lebih cepat dari semula. Berharap segera sampai tempat di mana
lelaki itu menghabiskan waktu. Tak peduli jika dia mengusirku atau bahkan tak
peduli. Aku sudah merancang rangkaian kalimat yang kiranya tepat dan ampuh
untuk menangkapnya. Memenjarakannya dan tak lagi meninggalkan malamku dan juga
wanita itu. Jarakku tinggal beberapa meter lagi. Terbayang segala rangkaian kejadian,
aku berprasangka baik saja agar yang kudapati nanti tak jauh berbeda. Aku
memang bukan penganut taat aturanNYA namun aku percaya Tuhan Maha Baik dan Penolong,
seperti kata guru agama di sekolahku. Namun, siapa sangka kalau menit
selanjutnya adalah awal jalanku yang berbelok.
“Aku telah memutuskan, aku akan pergi jauh. Meninggalkan desa ini,
meninggalkanmu dan anak lelakimu itu. Dia bukan anakku, urus dia! Aku tak punya
tanggung jawab atas anakmu. Kamu sudah menodai setiaku, mencibir ikhlasku
merawat anakmu, maka meninggalkanmu adalah cara terbaik,” ucap wanita itu. Lelaki
di hadapannya hanya mengangguk, tanpa membalas kalimatnya sedikitpun. Cukup
menjadi jawaban bahwa yang diucapkan wanita itu benar.
Aku tak percaya pada yang ku lihat dan ku dengar. Ini
seperti mimpi. Namun panas bumi yang aku rasakan, menandakan bahwa ini adalah kenyataan. Rasanya lebih sakit dari sekedar cemoohan tetangga, bentakan guru kimia,
menahan kelaparan, dingin menunggu lelaki itu pulang, atau sederet pahit yang
pernah kurasakan. Aku seperti dikejar kunang-kunang. Bingung. Kembali ke gubug
reyot dan terus bertahan sendirian jelas bukan pilihanku selanjutnya.
Oleh : Ai'
1 komentar:
bagus banget
Posting Komentar