Find us on facebook

Minggu, 29 November 2015

Maaf Na!

Sumber : https://kahoda.files.wordpress.com/2010/01/shalat.jpg


Perlahan-lahan bus dengan kelas ekonomi  yang membawa tubuhnya bergerak perlahan. Diiringi senja yang hampir purna.  Mundur satu jam dari jadwal keberangkatan bus yang seharusnya. Kalau saja pantas, ia pasti sudah memaki atau menyalah-nyalahkan agen bus dengan berbagai dalih mengingat pentingnya ia naik bus dan harus segera sampai ke tempat di mana ia dilahirkan. Tetapi itu tak akan pernah membuat bus segera berangkat. Diam dan terus melafalkan do’a adalah cara terbaiknya. Kalau saja, ya kalau saja uang yang menghuni dompet lusuhnya cukup untuk naik pesawat pasti sudah ia lakukan. Namun lagi-lagi kenyataan menghempas perih dadanya. Dua belas jam ke depan, lelaki tinggi kurus dan rambut ikal itu akan berteman dengan dengung musik tradisional Sunda. Mungkin Sopirnya asli suku Sunda sehingga musik yang diputar khas sukunya.

Hatinya terus saja gelisah. Kekhawatiran benar-benar menyanderanya. Ia anak lelaki satu-satunya. Kehadirannya bisa jadi merubah keadaan, namun bisa jadi akan memperkeruh keadaan. Keputusan untuk pulang lebih kepada untuk menuntaskan rasa penasaran dan berharap mampu menjawab segala tanya yang terus merasuki otaknya.

Lampu-lampu yang berderet-deret di jalanan kota yang dilewati tak sanggup mengurai pendar rasa yang ia punya. Mata yang ia bujuk untuk terpejam pun mental. Rasa kantuk tak berhasil ia hadirkan. Padahal ia berharap lelap mampu membuat semuanya terlupa. Berkali-kali ia meneguk air mineral untuk meredam gejolak yang terus mengombak. Hasilnya, nihil. Gejolak itu masih sama.

Perjalanan menjadi berasa lebih lama dan membosankan. Seandainya ada penumpang lain yang ada di sebelahnya mungkin ia takkan se risau ini. Paling tidak ia bisa mengalihkan kegalauannya dengan mengajak ngobrol orang disebelahnya.

Lelaki itu mengambil ponsel dari saku jaketnya. Bukan ponsel canggih seperti sekarang ini melainkan ponsel monokrom edisi lama sekali, mungkin bisa dikategorikan benda unik. Benda itu merupakan salah satu benda berharga yang ia punya. Itupun ia peroleh dengan perjuangan yang heroik sekali. Orang lain berburu ponsel pintar sedang ia berburu ponsel murah. Benda itu bergetar. Ia tersenyum kecut. Getaran yang memberitahukan pesan dari adiknya itu membuatnya semakin ciut nyali.

Perjalanan baru berkisar tiga jam. Namun rasanya sudah seperti berhari-hari. Bus berhenti di sebuah rumah makan. Memberikan jeda sekaligus kesempatan untuk beribadah dan makan. Lelaki itu memilih yang pertama, beribadah. Meski Tuhan masih sering mengabaikan do’anya, namun ia tetap memegang prinsip yang diajarkan oleh ibunya. Ia tak pernah tahu dan barangkali takdirnya memang demikian. Setengah jam waktu yang diberikan oleh sopir ia habiskan di bangunan kecil pojok area ini. Menumpas segala pelik kehidupan yang telah dijalani. Ia sedang mengadu, sedang bercerita, berharap segala rona yang menggelora berangsur padam lalu tenang.

Bus melaju kembali. Perlahan membelah jalanan khas bus ekonomi. Kantuk mulai menyerangnya, kemudian ia mengucap kalimat syukur sebagai ungkapan terima kasihnya atas dikabulkannya do’a. Namun sepertinya Tuhan masih punya rencana lain untuk terus menguatkannya dengan ujian selanjutnya. Bus mendadak berhenti. Bau tak sedap membangunkan lelaki kurus itu. Kondektur menginstruksikan kepada seluruh penumpang untuk turun.

“Mohon maaf bapak, ibu, mas, mba, adik, atas ketidaknyamanan ini. Bus tidak dapat melanjutkan kembali. Rem mobil bermasalah, ban mobil pecah, kami lupa membawa gantinya. Terpaksa para penumpang sekalian untuk beristirahat di masjid seberang sambil menunggu bus selanjutnya, nanti jam sekitar jam empat pagi.”

Pernyataan kondektur itu bagai sayatan pisau di kulitnya. Perih. Ia tergugu dalam kepasrahannya. Ia benar-benar tak mengerti kenapa ada saja yang menghalanginya. Bukankah niatnya baik? Atau jangan-jangan kepulangannya hanya menuruti ego dan emosinya? Ia seperti orang linglung. Mondar-mandir mencari jawaban, namun angin masih membisu tak memberikan pertanda, jangankan jawaban.

Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengikuti jejak penumpang lain. Menunggu bus selanjutnya.
Adzan subuh berkumandang. Membelah pagi, mengajak manusia untuk bangun dari  mimpi. Kepasrahan membuat lelaki itu terlelap cukup panjang. Dan hasilnya, ia terbangun sendirian. Penumpang bus yang lain sudah tak ada. Artinya ia tertinggal bus. Ingin rasanya  berteriak marah namun tempatnya berada jelas tak berkenan.  Ia menangis. Bayang-bayang masa lalu terus bermunculan. Menambah sesak di dadanya. Sentuhan tangan muadzin yang di bahunya membuatnya tersadar. Ia harus bergegas.

Lelaki itu masih berada di masjid padahal matahari mulai mengintip di sela-sela ventilasi dan jendela. Bukan tidur bukan pula mengaji atau berdzikir. Ia masih menimbang-nimbang keputusan mana yang akan di ambil.

Na, abang ga jadi pulang. Maaf. Tuhan berkehendak lain. Abang ga bisa bawa kamu pergi dan mencegah pernikahan bapak. Meski Na ga suka tapi kalau ibu tiri itu baik, tetaplah ikut denganya Na. Abang ga janji, tapi akan terus berusaha untuk punya penghasilan lebih, biar kelak bisa bawa Na pergi. Bapak tidak mengkhianati ibu Na. Maafkan abang Na.”

Lelaki itu kemudian berkemas selepas berita terkirim pesan mendarat di ponsel buntutnya. Ia memutar balik arah tujuan. Kembali ke rantau dan bekerja sebaik-baiknya. Sungguh ia benci menjadi lelaki pencari alasan, namun itulah alasan yang tepat agar luka orang-orang yang dicintainya tidak semakin bertambah.

Oleh : Ai'



0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More