Sumber : https://kahoda.files.wordpress.com/2010/01/shalat.jpg |
Perlahan-lahan bus dengan kelas ekonomi yang membawa tubuhnya bergerak perlahan.
Diiringi senja yang hampir purna. Mundur
satu jam dari jadwal keberangkatan bus yang seharusnya. Kalau saja pantas, ia
pasti sudah memaki atau menyalah-nyalahkan agen bus dengan berbagai dalih
mengingat pentingnya ia naik bus dan harus segera sampai ke tempat di mana ia
dilahirkan. Tetapi itu tak akan pernah membuat bus segera berangkat. Diam dan
terus melafalkan do’a adalah cara terbaiknya. Kalau saja, ya kalau saja uang
yang menghuni dompet lusuhnya cukup untuk naik pesawat pasti sudah ia lakukan.
Namun lagi-lagi kenyataan menghempas perih dadanya. Dua belas jam ke depan, lelaki
tinggi kurus dan rambut ikal itu akan berteman dengan dengung musik tradisional
Sunda. Mungkin Sopirnya asli suku Sunda sehingga musik yang diputar khas
sukunya.
Hatinya terus saja gelisah. Kekhawatiran benar-benar
menyanderanya. Ia anak lelaki satu-satunya. Kehadirannya bisa jadi merubah
keadaan, namun bisa jadi akan memperkeruh keadaan. Keputusan untuk pulang lebih
kepada untuk menuntaskan rasa penasaran dan berharap mampu menjawab segala tanya
yang terus merasuki otaknya.
Lampu-lampu yang berderet-deret di jalanan kota yang dilewati
tak sanggup mengurai pendar rasa yang ia punya. Mata yang ia bujuk untuk
terpejam pun mental. Rasa kantuk tak berhasil ia hadirkan. Padahal ia berharap
lelap mampu membuat semuanya terlupa. Berkali-kali ia meneguk air mineral untuk
meredam gejolak yang terus mengombak. Hasilnya, nihil. Gejolak itu masih sama.
Perjalanan menjadi berasa lebih lama dan membosankan.
Seandainya ada penumpang lain yang ada di sebelahnya mungkin ia takkan se risau
ini. Paling tidak ia bisa mengalihkan kegalauannya dengan mengajak ngobrol
orang disebelahnya.
Lelaki itu mengambil ponsel dari saku jaketnya. Bukan ponsel
canggih seperti sekarang ini melainkan ponsel monokrom edisi lama sekali,
mungkin bisa dikategorikan benda unik. Benda itu merupakan salah satu benda berharga
yang ia punya. Itupun ia peroleh dengan perjuangan yang heroik sekali. Orang
lain berburu ponsel pintar sedang ia berburu ponsel murah. Benda itu bergetar.
Ia tersenyum kecut. Getaran yang memberitahukan pesan dari adiknya itu membuatnya
semakin ciut nyali.
Perjalanan baru berkisar tiga jam. Namun rasanya sudah
seperti berhari-hari. Bus berhenti di sebuah rumah makan. Memberikan jeda sekaligus
kesempatan untuk beribadah dan makan. Lelaki itu memilih yang pertama,
beribadah. Meski Tuhan masih sering mengabaikan do’anya, namun ia tetap
memegang prinsip yang diajarkan oleh ibunya. Ia tak pernah tahu dan barangkali
takdirnya memang demikian. Setengah jam waktu yang diberikan oleh sopir ia habiskan
di bangunan kecil pojok area ini. Menumpas segala pelik kehidupan yang telah dijalani.
Ia sedang mengadu, sedang bercerita, berharap segala rona yang menggelora
berangsur padam lalu tenang.
Bus melaju kembali. Perlahan membelah jalanan khas bus
ekonomi. Kantuk mulai menyerangnya, kemudian ia mengucap kalimat syukur sebagai
ungkapan terima kasihnya atas dikabulkannya do’a. Namun sepertinya Tuhan masih
punya rencana lain untuk terus menguatkannya dengan ujian selanjutnya. Bus
mendadak berhenti. Bau tak sedap membangunkan lelaki kurus itu. Kondektur
menginstruksikan kepada seluruh penumpang untuk turun.
“Mohon maaf bapak, ibu, mas, mba, adik, atas ketidaknyamanan
ini. Bus tidak dapat melanjutkan kembali. Rem mobil bermasalah, ban mobil pecah,
kami lupa membawa gantinya. Terpaksa para penumpang sekalian untuk beristirahat
di masjid seberang sambil menunggu bus selanjutnya, nanti jam sekitar jam empat
pagi.”
Pernyataan kondektur itu bagai sayatan pisau di kulitnya.
Perih. Ia tergugu dalam kepasrahannya. Ia benar-benar tak mengerti kenapa ada
saja yang menghalanginya. Bukankah niatnya baik? Atau jangan-jangan
kepulangannya hanya menuruti ego dan emosinya? Ia seperti orang linglung.
Mondar-mandir mencari jawaban, namun angin masih membisu tak memberikan
pertanda, jangankan jawaban.
Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengikuti jejak penumpang
lain. Menunggu bus selanjutnya.
Adzan subuh berkumandang. Membelah pagi, mengajak manusia
untuk bangun dari mimpi. Kepasrahan
membuat lelaki itu terlelap cukup panjang. Dan hasilnya, ia terbangun
sendirian. Penumpang bus yang lain sudah tak ada. Artinya ia tertinggal bus. Ingin
rasanya berteriak marah namun tempatnya
berada jelas tak berkenan. Ia menangis.
Bayang-bayang masa lalu terus bermunculan. Menambah sesak di dadanya. Sentuhan
tangan muadzin yang di bahunya membuatnya tersadar. Ia harus bergegas.
Lelaki itu masih berada di masjid padahal matahari mulai
mengintip di sela-sela ventilasi dan jendela. Bukan tidur bukan pula mengaji
atau berdzikir. Ia masih menimbang-nimbang keputusan mana yang akan di ambil.
“Na, abang ga jadi
pulang. Maaf. Tuhan berkehendak lain. Abang ga bisa bawa kamu pergi dan mencegah
pernikahan bapak. Meski Na ga suka tapi kalau ibu tiri itu baik, tetaplah ikut
denganya Na. Abang ga janji, tapi akan terus berusaha untuk punya penghasilan
lebih, biar kelak bisa bawa Na pergi. Bapak tidak mengkhianati ibu Na. Maafkan
abang Na.”
Lelaki itu kemudian berkemas selepas berita terkirim pesan
mendarat di ponsel buntutnya. Ia memutar balik arah tujuan. Kembali ke rantau
dan bekerja sebaik-baiknya. Sungguh ia benci menjadi lelaki pencari alasan,
namun itulah alasan yang tepat agar luka orang-orang yang dicintainya tidak
semakin bertambah.
Oleh : Ai'
0 komentar:
Posting Komentar