Sepeti biasa, aku menunggu jemputan ayah di depan monumen
pahlawan yang ada diruas jalan pusat kotaku. Setiap hari ayah selalu
menjemputku sepulang dari kuliah. Selepas turun dari bus kota, aku menunggu
ayah diruas jalan itu. Ayah khawatir denganku jika aku pulang dengan
melanjutkan lagi naik kendaraan umum menjelang magrib tiba karena jarak tempuh kerumahku yang cukup jauh. Aku
merasa aman ketika menunggu ayah diruas jalan ini, meski yang kutahu beberapa
pedagang kaki lima yang meggelar dagangannya ketika menjelang magrib ini sering
memberitahuku jika banyak sekali pencopet berkeliaran menjelang magrib seperti
ini.
Sejak dari pertama aku
menunggu ayah diruas jalan ini, ada yang menarik perhatianku. Seorang
pedagang roti bakar yang selalu selesai memamerkan jualan di ‘etalase’ nya
dengan lampu penerangan yang sangat indah tepat ketika azan magrib yang mengalun dari menara masjid agung yang
berada di seberang jalan raya menyapa.
“Nak, kamu masih menunggu ayahmu datangkan?”. Tanyanya yang berarti ia memintaku menjaga dagangannya
sementara dan bergantian setelahnya untukku solat magrib.
“Yoi pak..titip doa ya pak” . Jawabku akrab. Kebetulan hari
ini aku sedang tidak solat, kebiasaan seorang wanita setiap bulannya.
Ialah pak Saleh, yang selalu tak mau ketinggalan sholat
berjamaah di masjid. Selalu memulai menggelar ‘etalase’ roti bakar lapis tiga
rasanya itu satu jam sebelum azan magrib berkumandang. Pertama kali melihat pak
Saleh, aku jatuh cinta kepada lampu Serongkeng yang
digunakan untuk penerangan dagangannya.
Kuperhatikan kelincahan tangannya ketika melakukan langkah demi langkah dalam
mengoperasikan lampu Serongkeng, dan aku merasa takjub ketika lampu itu telah
menyala.
Seminggu pertama aku terus
memperhatikan pak Saleh, ada rasa yang sangat untuk berinteraksi dalam
percakapan dengan beliau. Namun aku bingung untuk memulainya.
Kuperhatikan lamat-lamat kegiatan pak Saleh ketika
menyalakan lampu serongkeng, dari menyiapkan minyak tanah, spritus, kaos bola
lampu dan yang paling menakjubkan adalah ketika lampu itu akhirnya menjadi bola
lamppu yang indah berpijar setelah terbakar beberapa saat ketika dipompa. Dan
pada saat itupun aku kembali kemasa kanakku, tentang aku, ayah dan lampu
serongkeng.
***
Masa kecil kulalui di sebuah rumah kayu kecil yang bercagak
tiang diatas air rawa yang mengalir air sungai. Saat itu lingkungan rumahku
masih dikepung oleh hutan, sungai dan rawa-rawa. Tiada aliran listrik, hanya
berpijarkan lampu teplok yang setiap pagi menjelang membekaskan noda hitam
dilubang hidungku.
“ibu, hidung putri hitam” manjaku seranya mendekati ibu.
“mana, coba ibu lihat”. Jawab ibu sambil melihat lubang
hidung mungilku dan tersenyum.
“masih tetep cantik kok, anak ibu”. Lanjut ibu smbil
mencubit lembut hidungku.
Akupun berpindah haluan kearah ayah yang sedang membaca
al-quran, ayah suka memulai pagi harinya dengan menyenandungkan al-quran.
Dengan manja khas anak kecil, aku mendekati ayah dan duduk menggelayuti ayah.
“ayah, lampunya diganti dong seperti lampu yang ada dirumah
wak haji, terang dan ada topi bundar yang melingkar terus digantungkan di atas
langit-langit rumah”. Celotehku panjang. “putri mau punya lampu itu?”. Ayah
menatapku dan tersenyum dan akupun mengangguk.
“permohonan putri terkabulkan, karena kemarin ayah dapet
hadiah lampu yang putri sebutkan itu dari wak haji”. Jawab ayah. Diam-diam ayah
suka memperhatikanku yang selalu melihat ‘aksi’ wak haji ketika menyalakan
lampu itu. Dan wak hajipun berbaik hati memberikan satu lampu itu kepada ayah,
tepatnya untukku.
“wak, lampunya indah sekali. Putri mau punya lampu seperti
itu”. Celotehku seraya terkesima dengan cahaya lampu itu. Wak Hajipun
tersenyum, ia pun sangat tahu akan ketertarikanku.
“nanti jika wak punya lampunya dua, satunya wak berikan
untuk putri, biar putri semakin cantik dibawah cahaya terang lampu ini”. Jawab wak Haji sambil mencubit pelan
hidungku.
“benarkah,wak?”. Tanyaku antusias.
“in syaa allaah, gadis solehah. Tapi putri sudah tahu belum
nama lampu indah ini?”. Tanya Wak Haji padaku, dan akupun hanya menggeleng.
“namanya lampu Serongkeng atau nama bekennya adalah lampu
Petromaks”. Lanjut wak Haji.
“oh... lampu serongkeng, yaa Wak..”. jawabku senang dan
membayangkan lampu itu sudah dirumah dan dihidupkan oleh ayah.
***
Kuperhatikan benda ajaib dihadapanku ini, lampu yang bisa dideskripsikan dengan tabung tempat minyak tanah yang warnanya
mengkilap. Di tabung itu ada alat pemompa manualnya, berwarna merah. Ada juga alat pendeteksi tekanan gasnya. Di atas
tabung itu ada tempat dimana api dinyalakan dengan spiritus, cairan yang mudah
terbakar dan menguap. Baru di atasnya dipasang kaos lampu yang terbuat dari
semacam kain. Di sekelilingnya ada tabung kaca. Di atasnya penutup dan ada
semacam alat pembatas agar arah sinar mengembang ke bawah--aku mnyebutnya
topinya lampu serongkeng. lampu ini membutuhkan kaos lampu, bentuknya seperti
balon. Kaos lampu itu mengembang jika serongkeng dinyalakan, dengan cara
memompanya—sangat manual--butuh keahlian supaya mengembangnya sempurna. Kaos
lampu yang mengembang itu akhirnya membentuk seperti rumah tawon yang berpijar.
Kaos lampu itu sangat rapuh, jika disenggol dia akan pecah.
Benda itu sekarang sedang dioperasikan oleh ayah, kaos
lampunyapun baru dibeli oleh ayah, mataku tak berkedip ketika ayah
menyalakannya. Bagian yang sangat aku sukai adalah ketika ayah memompa lampu
agar terbakar dan mengeluarkan bunyi desisan, lalu terciptalah lampu yang
berpendar indah. Tak lupa ayah memakaikan ‘topi’ diatas kepala serongkeng, lalu
menggantungkannya di ats langit-langit rumah.
“wah, rumah kita jadi terang benderang ya, ayah..putri jadi
semangat belajar”. Kataku pada ayah.
“iya,, sayang. Dan bidadari ayah ibupun semakin terang
benderang”. Canda ayah seraya mencubit lembut hidungku.
Dan kami bertigapun tergelak dalam tawa yang riang di bawah
pendaran cahaya lampu serongkeng.
***
Lamunku semasa kank pun pecah seketika pak Saleh kembali dan
memanggil namaku.
“Nak, ayahmu belum datang?”. Tanya pak Saleh sambil
memperhatikan dagangannya.
“mungkin sebentar lagi pak”. Jawabku sambil melirik jam di
Handphone.
“ah... itu ayah pak”.
Kulihat ayah datang dan semakin mendekat. Motor ayahpun berhenti di depan
‘etalase’ dagangan pak Saleh.
“sayang, maaf ayah sedikit lama. Jalan cukup macet” jawab
ayah seraya memberikan helm kepadaku. Kuraih helm dari tangan ayah dan kupakai
di atas kepalaku.
“pak Saleh, kami
pulang dulu yah... terimakasih telah menemani Putri”. Ucap ayah berpamitan
dengan pak Saleh.
“pak, Putri pulang dulu ya, besok kita in syaa allaah
bertemu lagi”. Ucapku yang sudah berada diatas motor ayah.
“okey, nak Putri dan ayah Putri. Hati-hati dijalan ya”.
Balas pak Saleh ramah. Pak Saleh memanggil ayahku dengan nama ‘ayah Putri’,
biar lebih akrab.
Motor ayah pun melaju membawaku menuju masjid, menyebrangi
arus lalu lintas jalan raya yang padat dan temaram. Aku selalu mengingat kisah
indh itu bersama lampu serongkeng, kenangan terindah bersama ayah.
***
Penulis bernama; Syarifah Reza Ayu Nurimani, berusia 25
tahun, e-mail address; ayuminouri22@gmail.com. telephone number; 0819 2920
7357, 0853 1530 4934