Jam sebelas
tepat, deru mesin truk pengangkut sampah
mengganggu tidurnya yang belum lengkap. Dengan kepala yang masih pening sisa
pesta semalam dia tergopoh-gopoh bangun dan
berlari menuju dapur, khawatir truk sampah keburu pergi. Dua jinjing
plastik sampah besar sudah ada di tangannya. Sampai di halaman tiba-tiba dia
ragu, meletakkan plastik sampah di dekat pintu dan berbalik mencari kaca
jendela. Perasaan ragu menggelayuti hatinya saat menatap bayangan wajahnya yang
terpantul samar di kaca jendela yang buram. Siapa yang lebih layak untuk di
buang: sampah dalam plastik atau dirinya?
Dulu dia selalu
berpikir kalau hidupnya itu begitu sempurna. Di bawah langit biru bening ini
dia menegakkan kepala, pongah, merasa menjadi ratu, lalu suatu pagi saat dia
bangun dari tidur dan bermuka-muka dengan cermin tiba-tiba kekosongan itu hadir.
Ada sebuah celah dalam hidupnya yang tidak pernah bisa dia sumpal dengan hang out bersama teman-teman di café
atau membanjiri lambungnya dengan whiskey.
Celah itu begitu lebar sampai-sampai dia hampir yakin tak akan pernah bisa
menutupi celah itu dengan jatah waktunya yang tersisa. Terbersit sebaris kata-kata
di kepalanya, siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam plastik atau
dirinya?
Sudah lewat
beberapa menit dari tengah hari, tapi belum juga dia mandi, masih terlalu sibuk
untuk mengutuki diri. Rambutnya masih awut-awutan, matanya bencah, basah berair
tapi bukan air mata. Rasa mual dalam dirinya sebegitu hebat sampai indera dalam
dirinya jadi gagap menghadapi dunia. Kulitnya terlalu perih saat terpapar sinar
matahari, matanya kadang-kadang pedih jika terlalu lama bersentuhan dengan hawa
lembab AC. Sebagian inderanya sontak jadi lumpuh saat harus berhadapan dengan
dunia. Sebuah pertanyaan besar: akankah dia survive
dengan ‘kecacatan’ artifisial yang sudah dia ciptakan sendiri karena dosa-dosa
masa lalunya? Sebuah pertanyaan yang jauh lebih besar, siapa yang lebih layak
untuk di buang: sampah dalam plastik atau dirinya?
Diagnosa dokter
mengatakan kalau keadaannya sudah parah, tak tertolong. Teman-temannya yang
dulu selalu hadir memvonis kalau
keadaannya sudah parah, tak tertolong. Orang tuanya yang dulu selalu
membanggakannya sudah menganggapnya anak tak tahu diuntung, keturunan Malin
Kundang modern, durhaka, juga sudah mencampakkan dirinya, keadaannya sudah
terlalu parah, tak tertolong. Mau menangis? Air matanya sudah habis. Mau
teriak? Dia takut pita suaranya luka, dan kalau ada satu luka di tubuhnya
berarti itu harus ditanggungnya sampai mati. Karena dosa-dosa masa lalunya,
setiap luka yang dia hadirkan di tubuhnya saat ini akan jadi permanen, tak akan
pernah sembuh. Kekebalan dan daya regenerasi di tubuhnya sudah menguap. Dia
sekarang cacat luar dalam. Siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam
plastik atau dirinya?
Adzan ashar
sudah lewat sekitar dua puluh menit yang lalu, matahari sekarang tidak sebuas
seperti tengah hari tadi. Untuk mengusir penat dia beranikan diri untuk keluar
rumah. Lewat pintu belakang, menyusuri jalan setapak kecil munuju selokan. Di
tengah jalan dia bertemu seorang gadis kecil yang sibuk memunguti kembang
sepatu yang jatuh dari pohon di tepi jalan. Dia memperhatikan dengan takzim,
tiba-tiba de javu hadir, pikirannya melayang ke beberapa puluh tahun lalu saat
dia masih anak-anak. Main rumah-rumahan, mandi matahari sambil menemani
kakaknya main layang-layang. Masa kecil yang terlalu indah untuk dikenang, dia
ingin menangis tapi air matanya sudah habis.
“Kakak mau?”
tiba tiba gadis kecil itu menyapa. Dia tersenyum. Sambil melihat ke dalam mata
gadis kecil yang jernih dan polos itu.
“Nama kamu
siapa?”
“Wati, Kak.”
“Kamu tidak
sekolah?”
“Saya sekolah
pagi, Kak. Kakak sedang sedih ya?”
Dia memaksakan
diri tersenyum, tidak adil membagi kesedihan pada gadis kecil yang polos ini.
Dosanya untuk dia tanggung sendiri, bukan untuk dia bagikan kepada orang lain.
“Kamu mau ikut
kakak ke selokan sana?” tanyanya sambil menunjuk ke selokan kecil di balik
kebun.
“Mau, Kak. Kakak
saya juga sedang main di selokan sana dengan teman-temannya.”
Lalu dengan
langkah cepat gadis kecil itu menggandeng tangannya menuju ke arah selokan.
Pelan-pelan
sayang, batinnya. Dia tidak ingin pucuk-pucuk dan ranting pohon melukai
kulitnya, karena kalau sampai luka berarti luka itu harus dia tanggung sampai
mati.
Sampai di tepi
selokan gadis kecil langsung melepaskan gandengannya dan berlari, turun ke
selokan dan bergabung dengan teman-temannya yang lain. Mereka berenang, bermain
air, menangkapi ikan-ikan kecil. Di antara gemericik air selokan yang masih
berair bening, di antara suara desir angin dan cericit burung, di antara tawa
bahagia anak-anak yang bermain air. Dia menemukan kebahagiaan di sana. Ada
surga di belakang rumah. Ada surga di tepi selokan.
Matahari semakin
tergelincir ke arah barat.
“Kakak belum mau
pulang?” tiba-tiba saja suara gadis kecil itu membangunkan dirinya dari lamunan
indah tentang surga di belakang rumah.
Dia menggeleng.
“Hari sudah
sore, Kak. Kami harus segera pulang.”
Dia mengangguk.
Pandangannya menubruk sesuatu dalam plastik hitam di sampingnya. Kembang sepatu
merah jambu yang tadi dipetik oleh gadis kecil.
“Kembang
sepatumu,” katanya sambil menunjuk plastik hitam di sampingnya.
Gadis kecil itu
menggeleng dan tersenyum. “Itu untuk Kakak.” Katanya sambil berlari cepat
mengejar teman-temannya.
Kini dia duduk
sendirian di tepi selokan sambil menatap kembang sepatu merah jambu dalam
kantong plastik hitam. Ada sesutatu yang tiba-tiba melintas dalam kepalanya.
Diambil plastik hitam tersebut dan menebar kembang sepatu ke dalam selokan.
Kembang sepatu jatuh dan terbawa aliran air, jumpalitan, berkelok-kelok di
antara bebatuan.
Dia bangun
sambil menatap bola merah raksasa di barat. Dia tersenyum, sudah menemukan
jawaban. Bukan masalah aku atau sampah dalam plastik yang harus dibuang, tapi
seberapa hebat penerimaan diri atas takdir yang sudah terjadi. Buang sampah
dalam plastiknya, tapi jangan buang plastik sampahnya. Kosongkan plastik lalu
isi dengan barang-barang berharga. Isi
dengan bunga-bunga atau permata. Bukan plastik pembungkusnya yang utama, tapi
isinya.
Dia berjalan
pulang, tapi bukan dia yang lama, dia yang baru, dia yang kosong, dia yang
bersiap mengisi dirinya dengan kebaikan di jatah hidupnya yang masih tersisa.
Jakarta, 2 Desember 2015
Ditulis oleh :
Achmad Ikhtiar
#latepost hari
AIDS sedunia (terimakasih untuk kembang sepatu merah jambu dan plastik
hitamnya)
0 komentar:
Posting Komentar