Find us on facebook

Rabu, 02 Desember 2015

SORE TEMARAM DI TEPI SELOKAN

Jam sebelas tepat, deru mesin  truk pengangkut sampah mengganggu tidurnya yang belum lengkap. Dengan kepala yang masih pening sisa pesta semalam dia tergopoh-gopoh bangun dan  berlari menuju dapur, khawatir truk sampah keburu pergi. Dua jinjing plastik sampah besar sudah ada di tangannya. Sampai di halaman tiba-tiba dia ragu, meletakkan plastik sampah di dekat pintu dan berbalik mencari kaca jendela. Perasaan ragu menggelayuti hatinya saat menatap bayangan wajahnya yang terpantul samar di kaca jendela yang buram. Siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam plastik atau dirinya? 

Dulu dia selalu berpikir kalau hidupnya itu begitu sempurna. Di bawah langit biru bening ini dia menegakkan kepala, pongah, merasa menjadi ratu, lalu suatu pagi saat dia bangun dari tidur dan bermuka-muka dengan cermin tiba-tiba kekosongan itu hadir. Ada sebuah celah dalam hidupnya yang tidak pernah bisa dia sumpal dengan hang out bersama teman-teman di café atau membanjiri lambungnya dengan whiskey. Celah itu begitu lebar sampai-sampai dia hampir yakin tak akan pernah bisa menutupi celah itu dengan jatah waktunya yang tersisa. Terbersit sebaris kata-kata di kepalanya, siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam plastik atau dirinya?
 
Sudah lewat beberapa menit dari tengah hari, tapi belum juga dia mandi, masih terlalu sibuk untuk mengutuki diri. Rambutnya masih awut-awutan, matanya bencah, basah berair tapi bukan air mata. Rasa mual dalam dirinya sebegitu hebat sampai indera dalam dirinya jadi gagap menghadapi dunia. Kulitnya terlalu perih saat terpapar sinar matahari, matanya kadang-kadang pedih jika terlalu lama bersentuhan dengan hawa lembab AC. Sebagian inderanya sontak jadi lumpuh saat harus berhadapan dengan dunia. Sebuah pertanyaan besar: akankah dia survive dengan ‘kecacatan’ artifisial yang sudah dia ciptakan sendiri karena dosa-dosa masa lalunya? Sebuah pertanyaan yang jauh lebih besar, siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam plastik atau dirinya?
 
Diagnosa dokter mengatakan kalau keadaannya sudah parah, tak tertolong. Teman-temannya yang dulu selalu hadir  memvonis kalau keadaannya sudah parah, tak tertolong. Orang tuanya yang dulu selalu membanggakannya sudah menganggapnya anak tak tahu diuntung, keturunan Malin Kundang modern, durhaka, juga sudah mencampakkan dirinya, keadaannya sudah terlalu parah, tak tertolong. Mau menangis? Air matanya sudah habis. Mau teriak? Dia takut pita suaranya luka, dan kalau ada satu luka di tubuhnya berarti itu harus ditanggungnya sampai mati. Karena dosa-dosa masa lalunya, setiap luka yang dia hadirkan di tubuhnya saat ini akan jadi permanen, tak akan pernah sembuh. Kekebalan dan daya regenerasi di tubuhnya sudah menguap. Dia sekarang cacat luar dalam. Siapa yang lebih layak untuk di buang: sampah dalam plastik atau dirinya?
 
Adzan ashar sudah lewat sekitar dua puluh menit yang lalu, matahari sekarang tidak sebuas seperti tengah hari tadi. Untuk mengusir penat dia beranikan diri untuk keluar rumah. Lewat pintu belakang, menyusuri jalan setapak kecil munuju selokan. Di tengah jalan dia bertemu seorang gadis kecil yang sibuk memunguti kembang sepatu yang jatuh dari pohon di tepi jalan. Dia memperhatikan dengan takzim, tiba-tiba de javu hadir, pikirannya melayang ke beberapa puluh tahun lalu saat dia masih anak-anak. Main rumah-rumahan, mandi matahari sambil menemani kakaknya main layang-layang. Masa kecil yang terlalu indah untuk dikenang, dia ingin menangis tapi air matanya sudah habis.

“Kakak mau?” tiba tiba gadis kecil itu menyapa. Dia tersenyum. Sambil melihat ke dalam mata gadis kecil yang jernih dan polos itu.

“Nama kamu siapa?”

“Wati, Kak.”

“Kamu tidak sekolah?”

“Saya sekolah pagi, Kak. Kakak sedang sedih ya?”

Dia memaksakan diri tersenyum, tidak adil membagi kesedihan pada gadis kecil yang polos ini. Dosanya untuk dia tanggung sendiri, bukan untuk dia bagikan kepada orang lain.

“Kamu mau ikut kakak ke selokan sana?” tanyanya sambil menunjuk ke selokan kecil di balik kebun.

“Mau, Kak. Kakak saya juga sedang main di selokan sana dengan teman-temannya.”

Lalu dengan langkah cepat gadis kecil itu menggandeng tangannya menuju ke arah selokan.

Pelan-pelan sayang, batinnya. Dia tidak ingin pucuk-pucuk dan ranting pohon melukai kulitnya, karena kalau sampai luka berarti luka itu harus dia tanggung sampai mati.

Sampai di tepi selokan gadis kecil langsung melepaskan gandengannya dan berlari, turun ke selokan dan bergabung dengan teman-temannya yang lain. Mereka berenang, bermain air, menangkapi ikan-ikan kecil. Di antara gemericik air selokan yang masih berair bening, di antara suara desir angin dan cericit burung, di antara tawa bahagia anak-anak yang bermain air. Dia menemukan kebahagiaan di sana. Ada surga di belakang rumah. Ada surga di tepi selokan.

Matahari semakin tergelincir ke arah barat.

“Kakak belum mau pulang?” tiba-tiba saja suara gadis kecil itu membangunkan dirinya dari lamunan indah tentang surga di belakang rumah.

Dia menggeleng.

“Hari sudah sore, Kak. Kami harus segera pulang.”

Dia mengangguk. Pandangannya menubruk sesuatu dalam plastik hitam di sampingnya. Kembang sepatu merah jambu yang tadi dipetik oleh gadis kecil.

“Kembang sepatumu,” katanya sambil menunjuk plastik hitam di sampingnya.

Gadis kecil itu menggeleng dan tersenyum. “Itu untuk Kakak.” Katanya sambil berlari cepat mengejar teman-temannya.

Kini dia duduk sendirian di tepi selokan sambil menatap kembang sepatu merah jambu dalam kantong plastik hitam. Ada sesutatu yang tiba-tiba melintas dalam kepalanya. Diambil plastik hitam tersebut dan menebar kembang sepatu ke dalam selokan. Kembang sepatu jatuh dan terbawa aliran air, jumpalitan, berkelok-kelok di antara bebatuan.

Dia bangun sambil menatap bola merah raksasa di barat. Dia tersenyum, sudah menemukan jawaban. Bukan masalah aku atau sampah dalam plastik yang harus dibuang, tapi seberapa hebat penerimaan diri atas takdir yang sudah terjadi. Buang sampah dalam plastiknya, tapi jangan buang plastik sampahnya. Kosongkan plastik lalu isi dengan barang-barang  berharga. Isi dengan bunga-bunga atau permata. Bukan plastik pembungkusnya yang utama, tapi isinya.

Dia berjalan pulang, tapi bukan dia yang lama, dia yang baru, dia yang kosong, dia yang bersiap mengisi dirinya dengan kebaikan di jatah hidupnya yang masih tersisa.

Jakarta, 2 Desember 2015
Ditulis oleh : Achmad Ikhtiar
#latepost hari AIDS sedunia (terimakasih untuk kembang sepatu merah jambu dan plastik hitamnya)




0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More