Ruangan tersebut tampak begitu terang, tetapi tak begitu adanya pada hati sesosok pemuda yang
berkaos merah dan bercelana jeans pendek itu. Lelaki berumur 20 tahunan
tersebut tengah meratapi hidupnya yang tak bergairah di sudut ruang tamu. Di tempat
yang tak jauh, seorang pria paruh baya terlihat asyik menyaksikan siaran televisi
tentang persidangan etika seorang anggota dewan. Sesekali dia mengelap keringatnya meski di dalam suhu udara terasa dingin. Di sampingnya, terlihat seorang wanita terpejam dengan kepala bersandar di dada pria itu.
Hampir
satu bulan lamanya pemuda tersebut meminta dibelikan sebuah barang, tetapi sampai sekarang orang
tuanya tidak pernah mengabulkan. Laki-laki itu bingung. Ayahnya adalah
seorang yang kaya raya, tetapi sebuah jubah berwarna merah saja seakan sulit
sekali mereka berikan, bahkan untuk anaknya sekalipun.
“Syamsul,
cari saja hal lainnya. Jangan minta yang aneh-aneh,” sebut sang ayah menanggapi
permintaan anaknya yang dinilai tak wajar.
Anak itu
pun mengernyitkan dahi. Mengapa tidak untuk jubah merah? Ada apa dengan barang itu? Dia
sendiri memang pernah diberitahukan ibunya bahwa benda itu pernah membuat
ayahnya itu trauma. Namun, ia tak mempercayainya.
“Saat pergi ke Jepang, ayahmu pernah bertemu dengan sesosok
hantu penunggu toilet. Hantu itu bertanya tentang warna merah dan biru yang mesti dipilih. Menurut hantu itu, jika warna merah yang dipilih ayahmu, hantu itu akan
segera mencabik-cabik tubuh ayahmu hingga darah merah segar bersimbah. Namun, jika biru yang
dipilih, sang hantu akan mencekik leher ayahmu dan menghisap darahnya hingga kulit dan wajah terlihat biru legam. Dan kamu tahu, hantu penunggu tersebut memakai jubah merah.” tandas
sang ibu
Pemuda itu
sendiri tak mempercayai kalimat sang ibu tadi. Cerita menyeramkan itu tak ubahnya seperti
sebuah dongeng pengantar tidur anak-anak. Padahal, lelaki ini sudah 20 tahun.
Kenapa tidak
saja langsung dikatakan bahwa dua di antara kami: aku atau ayah ‘pergi’ dari dunia ini
agar permasalahan atau konflik jubah ini selesai. Tak ada lagi perdebatan.
"Kenapa kau tak membeli sendiri saja jubah itu?" tanya temanku beberapa hari lalu.
"Aku bisa saja melakukannya, Temi. Aku bisa mencarinya sekarang juga. Namun, ini soal janji ayahku. Aku ingin dia menepatinya di tengah kesibukan dia yang tak jelas sebagai politisi Senayan."
Siang ini,
Syamsul bergegas ke kamar atasnya dan terpojok di sudut ruangan 3x4 meter itu. Hal itu
cukup menenangkan hatinya untuk sementara dari hiruk pikuk ketidakpedulian orang tua kandung. Dari dalam kamar, suara perdebatan sinis televisi sesekali mengundang cemoohan dan cibiran sang ayah. Sesekali sang ayah berkelakar dan
menyebut dengan kata-kata seperti bodoh, pengkhianat, pembohong, dan lain sebagainya di depan televisi. Padahal, dia sendiri juga secara
tak sadar sedang membodohi anaknya dengan janji palsu. Pemuda itu masih terngiang perkataan ayahnya satu bulan lalu saat menerima informasi dari sekolah bahwa dia juara kelas.
Katakan apa yang Engkau inginkan, Nak?
“Jubah merah” jawab sang anak tegas.
Sejak saat itu, muka orang tuamya berubah menjadi datar. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dia mengalihkan topik untuk mengajak kami berlibur ke Bali. Namun, pemuda itu menolaknya. Baginya pemberian jubah merah akan menjadi hal terbaik yang pernah dia dapatkan. Bukan hal yang lain. Pemuda itu sendiri tak tahu mengapa. Namun itulah yang disebut obsesi.
Pemuda itu buru-buru turun dari kamar atasnya. Dia melihat ke arah ruang tamu. Televisi masih memancar dan justru hanya melihat ibu terbaring sendirian di sebuah karpert berwarna merah. Namun, diai tak menemukan sosok ayahnya. Ke mana dia?
Sejak saat itu, muka orang tuamya berubah menjadi datar. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dia mengalihkan topik untuk mengajak kami berlibur ke Bali. Namun, pemuda itu menolaknya. Baginya pemberian jubah merah akan menjadi hal terbaik yang pernah dia dapatkan. Bukan hal yang lain. Pemuda itu sendiri tak tahu mengapa. Namun itulah yang disebut obsesi.
Pemuda itu buru-buru turun dari kamar atasnya. Dia melihat ke arah ruang tamu. Televisi masih memancar dan justru hanya melihat ibu terbaring sendirian di sebuah karpert berwarna merah. Namun, diai tak menemukan sosok ayahnya. Ke mana dia?
Dia
solat, syamsul. Pergi ke mushola depan.
Tak lama berselang, sore itu seisi komplek geger dengan ditemukan sejumlah mayat yang terbujur kaku tepat 200 meter dari pintu lintasan kereta api. Berita elektronik langsung menyiarkan secara langsung kejadian tragis tersebut. Sebuah bus metro mini dihantam tanpa ampun oleh kereta api hingga menewaskan belasan orang.
Namun, yang menjadi fokus pemberitaan itu adalah ditemukannya sebuah jenazah yang berposisi tengah mendekap erat sebuah kado berwarna merah tua. Di
atasnya, terdapat sebuah tulisan rapi .
Untuk anakku tercinta, Syamsu. Kenakanlah jubah merah ini. Jangan nodai jubah ini kelak dengan darah dan air mata para korban yang
tak bersalah. Selamat ulang tahun, Nak. Ayah sayang kamu.
Pemuda itu menyaksikan berita tersebut dengan hati yang remuk. Dia pun bergegas bersama ibunya
untuk mendatangi lokasi kejadian yang tak jauh dari rumah mereka. Sesampainya di tempat, pemuda itu menatap seonggok
tubuh yang masih hidup beberapa jam lalu di rumah, tetapi kini sudah
terbujur kaku. Sehelai gamis layaknya jubah terkoyak, tetapi masih melekat di tubuh kurus itu. Pakaian tersebut kini ternoda oleh bercak darah merah segar yang makin lama makin menutupi warna putih dasarnya.
Pemuda itu menengok ke arah sang ibu. Dia berusaha menahan tangisnya. Sang ibu kini menatap anaknya tajam. Giginya gemeretak. Matanya bak elang yang ingin menerkam mangsanya.
Tatapan mereka kemudian beradu. Sang ibu mendekatkan mulutnya ke arah telinga anak itu dengan berbisik.
Syamsul. Selamat, kini kau mendapatkan jubah merah yang kau
inginkan.
1 komentar:
Aku maunya jubah biru aja lah mas Resa.. Hehehe
Posting Komentar