Untuk
Seseorang : semoga kau bahagia bersama-Nya.
Entah bagaimana ini harus diceritakan. Kisah hidup seringkali
rumit. Bak labirin yang berkelok-kelok tak tampak akhirnya. Suka atau tidak
suka, mau tidak mau harus selesai. Dan
pada akhirnya mungkin menjadi sebuah episode kehidupan yang meluluhlantakkan jiwa. Tapi tidak bagi pencari cahaya.
Gerimis masih mengucuri tanah. Udara yang dingin membuatku menarik
selimut. Badanku sedikit menggigil. Sementara suara kaki di jalan depan rumah jelas terdengar.
Sepertinya semua orang melangkah dengan terburu-buru. Meninggalkan malam dengan rintik hujannya yang masih
setia. Dan seolah memberikan aku kebebasan untuk menikmati kesendirian. Bersama
sepi dan kelam. Padahal di sana tersembunyi keindahan nan menawan. Lebih tepatnya di
sepertiga malam.
Brak. Suara pintu dibuka
dengan kasar. Selimut yang kupakai sontak terlempar. Jantungku berdetak kencang.
Untung kematian masih segan menemuiku. Entah sampai kapan. Karena kematian
hanyalah masalah antrian.
“Suriyah, dimana kamu?”
“Suriyah !”.
“Ya Mas, sebentar”.
Mukena segera kulipat. Rambut dan baju ku rapikan dengan cepat. Dan aku bergegas keluar. Dengan sedikit sisa hawa dingin di
badanku. Menuju sumber suara. Menyambut sang suami. Seperti biasa. Seperti pada
malam-malam sebelumnya.
Ku lihat suamiku berjalan
sempoyongan. Dari jauh sudah bisa tercium
bau mulutnya. Aroma minuman keras. Aku
jengah. Perutku serasa mual. Hampir lelah aku mengingatkannya agar tidak mabuk-mabukan
dan berjudi. Mungkin sudah lelah juga
dia memakiku, memukuliku. Baru malam ini kami bersama dalam diam. Dan aku tetap
mencintainya.
“Nduk, kenapa kamu masih saja mempertahankan pernikahanmu
dengan Sugawon?”. “ Dia sudah keterlaluan”, Ibu berkata kepadaku dengan nada
tinggi. Pertanda beliau sedang dalam kondisi marah. “ Tadi dalam perjalanan,
Ibu ketemu dengan Bu Karjo di warung, katanya kalian belum membayar sewa
kontrakan rumah selama 5 bulan”. “ Kenapa kamu tidak bilang Ibu, Nduk?”. “
Rasa-rasanya Ibu semakin malu saja dengan kelakuan suamimu”.“ Sudah, begini
saja, nanti siang setelah kamu menjemput Sugawe anakmu dari sekolah, kalian harus
langsung ke rumah Ibu!”, Ibuku berbicara tanpa memberikan kesempatan bagiku
untuk menjawabnya. Dengan wajah memerah beliau segera beranjak dari tempat
duduknya. Pergi.
Aku menangis tersedu-sedu. Lamunanku
melayang. Melewati lorong waktu. Delapan tahun yang lalu. Aku memilih Mas Sugawon
menjadi suamiku. Tentu saja Ibu melarangnya. Karena orang sekampungpun sudah
tahu bagaimana tabiat lelaki yang dicintai anak perempuan satu-satunya.
Sedangkan aku, tetap bersikeras ingin menikah dengannya. Sebab dia telah berjanji
akan menjadi suami yang baik bagiku. Dan aku sangat percaya itu. Walau sampai sekarang aku masih menunggu. Sebuah penantian terhadap janji yang belum terlunaskan.
Tiba-tiba kepalaku pening. Dadaku
juga terasa sangat sesak. Aku segera mengambil obat di atas meja makan. Lalu
meminumnya. Sambil menahan sakit aku berjalan ke kamar. ”Ibu, tolong kembali ke
sini”, pintaku pada ibu lewat telepon genggam.
“Sariyah, kuatkan dirimu Nduk,
sebentar lagi kita sudah sampai di rumah sakit”, Ibu menggenggam tanganku.
Erat. Sangat erat. Aku berkata lirih kepada beliau, “Maafkan anakmu ini, Ibu”.
Dan mendadak terdengar suara tangis di sekelilingku. Aku tidak bisa bertanya
kenapa. Aku telah diam. Diam selamanya.
Tuban,
17 Desember 2015
By.
Atin5757
0 komentar:
Posting Komentar