Find us on facebook

Sabtu, 19 Desember 2015

Aku Titipkan Anakku Padamu, Ibu


Untuk Seseorang : semoga kau bahagia bersama-Nya.

Entah bagaimana ini harus diceritakan. Kisah hidup seringkali rumit. Bak labirin yang berkelok-kelok tak tampak akhirnya. Suka atau tidak suka, mau tidak mau harus  selesai. Dan pada akhirnya mungkin menjadi sebuah episode kehidupan yang meluluhlantakkan jiwa. Tapi tidak bagi pencari cahaya. 
Gerimis masih mengucuri tanah. Udara yang dingin membuatku menarik selimut. Badanku sedikit menggigil. Sementara suara  kaki di jalan depan rumah jelas terdengar. Sepertinya semua orang melangkah dengan terburu-buru. Meninggalkan  malam dengan rintik hujannya yang masih setia. Dan seolah memberikan aku kebebasan untuk menikmati kesendirian. Bersama sepi dan kelam. Padahal di sana tersembunyi  keindahan nan menawan. Lebih tepatnya di sepertiga malam.
 Brak. Suara pintu dibuka dengan kasar. Selimut yang kupakai sontak terlempar. Jantungku berdetak kencang. Untung kematian masih segan menemuiku. Entah sampai kapan. Karena kematian hanyalah masalah antrian.
 “Suriyah, dimana kamu?”
“Suriyah !”.
“Ya Mas, sebentar”.
 Mukena segera kulipat. Rambut dan baju ku rapikan dengan cepat. Dan aku bergegas keluar. Dengan sedikit sisa hawa dingin di badanku. Menuju sumber suara. Menyambut sang suami. Seperti biasa. Seperti pada malam-malam sebelumnya.
 Ku lihat suamiku berjalan sempoyongan. Dari jauh  sudah bisa tercium bau mulutnya. Aroma  minuman keras. Aku jengah. Perutku serasa mual. Hampir lelah  aku mengingatkannya agar tidak mabuk-mabukan dan berjudi. Mungkin sudah  lelah juga dia memakiku, memukuliku. Baru malam ini kami bersama dalam diam. Dan aku tetap mencintainya.
Nduk, kenapa kamu masih saja mempertahankan pernikahanmu dengan Sugawon?”. “ Dia sudah keterlaluan”, Ibu berkata kepadaku dengan nada tinggi. Pertanda beliau sedang dalam kondisi marah. “ Tadi dalam perjalanan, Ibu ketemu dengan Bu Karjo di warung, katanya kalian belum membayar sewa kontrakan rumah selama 5 bulan”. “ Kenapa kamu tidak bilang Ibu, Nduk?”. “ Rasa-rasanya Ibu semakin malu saja dengan kelakuan suamimu”.“ Sudah, begini saja, nanti siang setelah kamu menjemput Sugawe anakmu dari sekolah, kalian harus langsung ke rumah Ibu!”, Ibuku berbicara tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk menjawabnya. Dengan wajah memerah beliau segera beranjak dari tempat duduknya. Pergi.
            Aku menangis tersedu-sedu. Lamunanku melayang. Melewati lorong waktu. Delapan tahun yang lalu. Aku memilih Mas Sugawon menjadi suamiku. Tentu saja Ibu melarangnya. Karena orang sekampungpun sudah tahu bagaimana tabiat lelaki yang dicintai anak perempuan satu-satunya. Sedangkan aku, tetap bersikeras ingin menikah dengannya. Sebab dia telah berjanji akan menjadi suami yang baik bagiku. Dan aku  sangat percaya itu. Walau sampai sekarang aku masih menunggu.  Sebuah penantian terhadap janji yang belum terlunaskan.
            Tiba-tiba kepalaku pening. Dadaku juga terasa sangat sesak. Aku segera mengambil obat di atas meja makan. Lalu meminumnya. Sambil menahan sakit aku berjalan ke kamar. ”Ibu, tolong kembali ke sini”, pintaku pada ibu lewat telepon genggam.
            “Sariyah, kuatkan dirimu Nduk, sebentar lagi kita sudah sampai di rumah sakit”, Ibu menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Aku berkata lirih kepada beliau, “Maafkan anakmu ini, Ibu”. Dan mendadak terdengar suara tangis di sekelilingku. Aku tidak bisa bertanya kenapa. Aku telah diam. Diam selamanya. 

Tuban, 17 Desember 2015
By. Atin5757

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More